5 tahapan Upacara Ngaben dalam Tradisi Hindu Bali: Makna, Proses, dan Nilai Filosofis

5 tahapan Upacara Ngaben dalam Tradisi Hindu Bali: Makna, Proses, dan Nilai Filosofis

Upacara Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah dalam tradisi agama Hindu di Bali. Kata Ngaben berasal dari kata “abhu” yang berarti abu, atau dari kata “ngabuin” yang berarti mengembalikan jasad menjadi abu.

Dalam konteks spiritual, Ngaben bermakna mengembalikan unsur jasmani kepada alam semesta dan membebaskan roh (atma) agar dapat melanjutkan perjalanan menuju penyatuan dengan Sang Pencipta (Moksha).

Masyarakat Hindu di Bali memiliki pandangan hidup yang berlandaskan pada ajaran dharma dan keseimbangan alam semesta. Salah satu bentuk nyata dari ajaran tersebut tercermin dalam upacara Ngaben

Upacara ini merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia yang dianggap sebagai proses penyucian terakhir setelah seseorang meninggal dunia.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, kehidupan dan kematian adalah dua hal yang saling melengkapi dalam siklus samsara — kelahiran, kehidupan, dan kematian yang berulang hingga mencapai moksha (kebebasan abadi)

Menurut Titib (2003), upacara Ngaben memiliki peranan penting dalam mewujudkan konsep Punarbhawa (kelahiran kembali) dan Moksha. Dengan demikian, Ngaben tidak dipandang sebagai peristiwa duka, melainkan sebagai upaya keluarga untuk membantu roh menuju kehidupan selanjutnya.

Landasan Filosofis dan Teologis

Upacara Ngaben berakar pada ajaran kitab suci Weda, khususnya Atharvaveda dan Garuda Purana

Upacara Ngaben berakar pada ajaran kitab suci Weda, khususnya Atharvaveda dan Garuda Purana, yang menjelaskan pentingnya proses penyucian roh melalui elemen api (Agni). Dalam pandangan Hindu, tubuh manusia tersusun atas lima unsur alam, atau Panca Maha Bhuta:

  1. Perthiwi (tanah)

  2. Apah (air)

  3. Teja (api)

  4. Bayu (udara)

  5. Akasa (eter)

Melalui pembakaran jenazah, unsur-unsur tersebut dikembalikan kepada asalnya, sedangkan roh dibebaskan untuk melanjutkan perjalanan spiritual menuju alam roh (pitraloka).

Dengan demikian, Ngaben bukan sekadar pembakaran jasad, melainkan ritual kosmis yang memulihkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta

Tujuan dan Makna Filosofis

Tujuan utama dari upacara Ngaben adalah:

  1. Menyucikan roh leluhur agar terbebas dari keterikatan duniawi.

  2. Mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta (tanah, air, api, udara, dan eter) yang membentuk tubuh manusia kepada asalnya.

  3. Membantu roh menuju Moksha, yaitu kebebasan abadi dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).

  4. Menghormati dan mendoakan arwah leluhur, sebagai wujud bakti anak terhadap orang tua dan leluhur mereka.

Makna filosofis Ngaben sangat dalam: kehidupan dan kematian dianggap sebagai bagian dari siklus alam semesta, bukan akhir dari segalanya.

Jenis-Jenis Upacara Ngaben

Upacara Ngaben dalam Tradisi Hindu Bali: Makna, Proses, dan Nilai Filosofis

Pelaksanaan Ngaben bervariasi tergantung pada adat desa, kemampuan keluarga, dan status sosial. Beberapa jenis Ngaben antara lain:

  1. Ngaben Ngwangun – upacara lengkap dengan wadah (menara) dan lembu (sapi buatan dari bambu dan kertas).

  2. Ngaben Asti Wedana – dilakukan jika jenazah sudah dikubur sebelumnya dan tulangnya diambil kembali untuk dibakar.

  3. Ngaben Sawa Wedana – pembakaran dilakukan langsung terhadap jenazah tanpa dikubur terlebih dahulu.

  4. Ngaben Massal – dilakukan bersama-sama oleh beberapa keluarga, biasanya karena pertimbangan biaya atau waktu.

  5. Ngaben Pralina – bentuk penyucian roh tanpa jasad, biasanya dilakukan bagi mereka yang meninggal di luar negeri atau jasadnya tidak ditemukan.

Tahapan Upacara Ngaben

Upacara Ngaben terdiri dari beberapa tahapan utama yang sarat makna simbolis:

1. Persiapan dan Pembuatan Sarana

Tahap persiapan dan pembuatan sarana merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara Ngaben. Semua persiapan dilakukan dengan penuh ketelitian, gotong royong, dan disertai doa agar seluruh proses berjalan lancar. Sarana yang digunakan dalam Ngaben tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis dan spiritual.

Beberapa sarana utama yang dipersiapkan antara lain:

  1. Bade (Menara Jenazah)
    Bade adalah menara berlapis-lapis tempat jenazah diusung menuju setra (kuburan). Tinggi dan jumlah tingkat bade biasanya disesuaikan dengan status sosial atau kasta orang yang meninggal. Bade melambangkan gunung suci Mahameru, tempat bersemayam para dewa, sekaligus simbol jalan bagi roh menuju alam suci.

  2. Lembu (Wadah Pembakaran)
    Lembu merupakan sarana utama untuk membakar jenazah. Terbuat dari bambu, kertas, kain, dan kayu, lembu biasanya berbentuk binatang suci seperti lembu, gajah, atau naga. Lembu melambangkan kendaraan roh (atma) untuk menuju alam leluhur. Ketika pembakaran dilakukan, api Dewa Agni diyakini membantu menyucikan roh dari semua ikatan duniawi.

  3. Pelinggih dan Upakara (Persembahan)
    Sebelum upacara dimulai, keluarga membuat berbagai jenis banten (sesajen) yang berisi simbol-simbol alam, makanan, bunga, dan dupa. Setiap banten memiliki fungsi tertentu, seperti banten pejati, canang sari, dan daksina, yang ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai bentuk penghormatan dan permohonan restu.

  4. Gamelan Baleganjur
    Gamelan ini digunakan untuk mengiringi arak-arakan jenazah menuju tempat pembakaran. Irama baleganjur melambangkan semangat dan kebahagiaan dalam mengantarkan roh menuju alam yang lebih tinggi, karena kematian bukanlah kesedihan melainkan pelepasan jiwa menuju kesempurnaan.

  5. Gotong Royong Masyarakat
    Proses pembuatan sarana dilakukan secara bergotong royong oleh keluarga, tetangga, dan krama banjar. Nilai kebersamaan ini mencerminkan semangat menyama braya atau persaudaraan dalam masyarakat Bali, di mana semua warga ikut berpartisipasi tanpa pamrih.

2. Pengusungan Jenazah

Tahap pengusungan jenazah merupakan bagian yang sangat penting dan penuh makna dalam pelaksanaan upacara Ngaben. Pada tahap ini, jenazah yang telah dibungkus dan disiapkan ditempatkan di dalam bade atau wadah untuk diarak menuju setra (kuburan) tempat upacara pembakaran dilakukan.

Proses pengusungan dilakukan dengan suasana meriah dan sakral, diiringi tabuhan gamelan baleganjur serta nyanyian suci (kidung). Masyarakat Bali meyakini bahwa roh orang yang meninggal tidak boleh diiringi dengan kesedihan, karena kematian dianggap sebagai pelepasan jiwa menuju kesempurnaan, bukan akhir dari kehidupan.

Beberapa unsur penting dalam tahap pengusungan antara lain:

  1. Arak-arakan Jenazah
    Jenazah diusung dari rumah duka menuju setra menggunakan bade yang dihiasi dengan warna-warna cerah dan ornamen simbolis. Arak-arakan ini diikuti oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat banjar dengan penuh semangat dan rasa hormat.

  2. Putaran Simbolik (Ngubeng)
    Dalam perjalanan menuju setra, arak-arakan sering kali berhenti dan berputar beberapa kali di perempatan jalan (catus patha). Gerakan berputar ini melambangkan pemutusan ikatan roh dengan dunia fana, agar roh tidak kembali ke rumah atau tempat asalnya.

  3. Peran Gamelan Baleganjur
    Gamelan baleganjur dimainkan dengan irama yang dinamis dan bersemangat. Musik ini berfungsi sebagai pengiring roh, memberi semangat bagi keluarga, dan menolak energi negatif di sepanjang perjalanan.

  4. Nilai Sosial dan Kebersamaan
    Tahap pengusungan menunjukkan kuatnya nilai gotong royong dan solidaritas masyarakat Bali. Semua warga ikut membantu mengusung bade, menata arak-arakan, dan menjaga ketertiban jalannya upacara. Hal ini menjadi wujud nyata dari falsafah menyama braya, yaitu rasa persaudaraan dan kebersamaan antarumat.

Tahapan pengusungan jenazah menggambarkan perpaduan antara kebersamaan sosial, ekspresi seni, dan makna spiritual. Suasana riang dalam prosesi ini menunjukkan bahwa kematian dipandang bukan sebagai kesedihan, melainkan pintu menuju penyucian dan pembebasan jiwa (atma) menuju alam suci.

3. Pembakaran (Ngaben)

Tahap pembakaran jenazah merupakan puncak dari seluruh rangkaian upacara Ngaben. Pada tahap ini, jenazah yang telah diarak dan ditempatkan di lembu atau wadah pembakaran akan dibakar dengan api suci sebagai simbol penyucian roh (atma) dari segala ikatan duniawi.

Dalam kepercayaan Hindu Bali, api yang digunakan dalam upacara ini bukan sekadar alat pembakar jasad, melainkan perwujudan dari Dewa Agni, dewa api yang berfungsi sebagai perantara antara manusia dan para dewa. Dewa Agni diyakini memiliki kekuatan untuk menyucikan dan mengantarkan roh menuju alam suci.

Proses pembakaran dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

  1. Penempatan Jenazah ke dalam Lembu atau Wadah
    Setelah arak-arakan tiba di setra, jenazah dipindahkan dari bade ke dalam lembu yang telah disiapkan. Lembu biasanya dihiasi dengan kain dan warna-warna suci seperti putih, kuning, dan merah yang melambangkan kesucian, kebijaksanaan, dan kekuatan.

  2. Doa dan Persembahan (Puja Stawa)
    Sebelum api dinyalakan, sulinggih atau pendeta memimpin doa dan mantra penyucian (puja stawa). Keluarga juga mempersembahkan sesajen berupa banten pejati dan daksina sebagai tanda penghormatan kepada roh serta permohonan agar proses pembakaran berjalan lancar.

  3. Proses Pembakaran
    Api dinyalakan oleh pendeta atau keluarga dekat dengan menggunakan api suci (agni). Saat api membakar lembu, masyarakat biasanya menaburkan bunga, berdoa, dan melantunkan kidung suci. Proses ini menggambarkan pembebasan roh dari tubuh jasmani dan pengembalian unsur Panca Maha Bhuta ke alam semesta.

  4. Makna Filosofis
    Pembakaran melambangkan bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal perjalanan menuju kesempurnaan. Api yang membakar jasad tidak dianggap sebagai kehancuran, tetapi sebagai alat untuk menyucikan dan memisahkan roh dari unsur duniawi.

  5. Sikap Keluarga
    Dalam tahap ini, keluarga tidak diperkenankan menangis berlebihan. Mereka harus ikhlas dan tenang, karena kesedihan dipercaya dapat menghambat perjalanan roh menuju alam leluhur. Suasana upacara tetap dijaga agar penuh ketulusan dan rasa syukur.

Upacara pembakaran Ngaben menunjukkan betapa tingginya pemahaman spiritual masyarakat Bali terhadap konsep kehidupan dan kematian. Melalui api Dewa Agni, tubuh dikembalikan kepada alam, sementara roh melanjutkan perjalanan menuju moksha, yaitu kebebasan abadi dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).

4. Nganyut dan Ngeroras

Tahapan Nganyut dan Ngeroras merupakan kelanjutan dari prosesi pembakaran dalam upacara Ngaben. Setelah jenazah dibakar, roh dianggap telah terlepas dari raga, namun masih perlu disucikan secara sempurna agar dapat mencapai alam leluhur (pitraloka). Kedua upacara ini memiliki makna yang sangat dalam dan menjadi simbol akhir dari penyucian roh.

1. Nganyut (Upacara Penghanyutan Abu)

Setelah proses pembakaran selesai, abu dan sisa tulang (asti) dari jenazah dikumpulkan dengan hati-hati. Abu tersebut kemudian ditempatkan dalam wadah kecil dari tempurung kelapa atau daun pisang, lalu dibawa menuju laut atau sungai untuk dihanyutkan. Prosesi ini disebut Nganyut, yang berasal dari kata anyut berarti “mengalir” atau “terhanyut.”

Makna upacara Nganyut antara lain:

  • Mengembalikan unsur kehidupan ke alam semesta, karena tubuh manusia berasal dari lima unsur alam (Panca Maha Bhuta).

  • Simbol pelepasan terakhir antara keluarga dengan roh, sebagai bentuk keikhlasan melepas kepergian orang yang dicintai.

  • Penyucian spiritual, karena air dipercaya sebagai unsur suci yang mampu membersihkan sisa-sisa duniawi.

2. Ngeroras (Penyempurnaan Roh)

Setelah upacara Nganyut, beberapa hari kemudian dilaksanakan upacara Ngeroras, yang bertujuan untuk menyempurnakan penyucian roh agar benar-benar terbebas dari ikatan dunia dan dapat bergabung dengan para leluhur di alam suci.

Dalam pelaksanaannya, keluarga mempersiapkan berbagai jenis banten (sesajen) dan memohon bimbingan dari sulinggih atau pendeta. Upacara Ngeroras sering kali diiringi doa dan kidung suci untuk memohon agar roh diterima di alam kedewataan.

Makna filosofis Ngeroras meliputi:

  • Penyempurnaan proses penyucian roh, sebagai tahap akhir sebelum atma mencapai kesucian.

  • Wujud bakti dan cinta kasih keluarga, karena keluarga masih terus mendoakan arwah agar mendapatkan kedamaian.

  • Simbol keseimbangan kosmis, di mana manusia sebagai makhluk ciptaan mengembalikan seluruh unsur kehidupan kepada Sang Pencipta.

Tahapan Nganyut dan Ngeroras menandai selesainya seluruh rangkaian upacara Ngaben. Melalui prosesi ini, masyarakat Bali menegaskan keyakinannya bahwa kehidupan dan kematian merupakan satu kesatuan siklus alam yang harus dijalani dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan rasa syukur kepada Tuhan.

5. Memukur atau Atma Wedana

Tahapan Memukur atau disebut juga Atma Wedana merupakan upacara penyempurnaan terakhir setelah Ngaben, Nganyut, dan Ngeroras selesai dilaksanakan. Upacara ini bertujuan untuk menyucikan roh (atma) secara sempurna agar dapat mencapai alam para leluhur (pitraloka) atau bahkan bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Kata Memukur berasal dari kata pukur, yang berarti “membangkitkan kembali.” Dalam konteks spiritual, hal ini bermakna membangkitkan atau menghidupkan kembali kesadaran suci roh, agar mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Sedangkan Atma Wedana berarti “upacara untuk penyucian jiwa.”

Pelaksanaan upacara Memukur dilakukan beberapa minggu atau bulan setelah Ngaben, tergantung pada kemampuan keluarga dan petunjuk dari sulinggih (pendeta).

1. Tujuan Upacara Memukur

Tujuan utama dari upacara Memukur adalah:

  • Menyempurnakan perjalanan roh agar dapat mencapai alam kedewataan.

  • Memutus ikatan roh dengan dunia fana secara total.

  • Menjadikan roh sebagai Dewa Pitara, yaitu roh leluhur yang suci dan layak disembah serta dimohonkan restu.

2. Proses Pelaksanaan

Dalam pelaksanaannya, dibuat sebuah pratima atau simbol roh dalam bentuk boneka kecil dari janur, bunga, dan kain putih. Pratima ini disucikan melalui doa dan mantra, kemudian ditempatkan di pelinggih merajan (tempat suci keluarga).
Upacara dilakukan dengan penuh khidmat oleh keluarga, dibimbing oleh sulinggih dengan iringan kidung dan mantra suci. Persembahan berupa banten pejati, daksina, dan banten suci disiapkan untuk melengkapi upacara ini.

3. Makna Filosofis

Upacara Memukur memiliki makna yang sangat mendalam bagi umat Hindu Bali, di antaranya:

  • Roh dianggap telah mencapai kesucian sempurna, dan berubah menjadi roh suci yang disebut Dewa Hyang.

  • Menumbuhkan rasa bakti dan hormat kepada leluhur, karena roh yang telah disucikan akan menjadi pelindung keluarga.

  • Mewujudkan keseimbangan spiritual, di mana hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan kembali harmonis.

Melalui upacara Memukur atau Atma Wedana, masyarakat Bali menegaskan keyakinan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan puncak dari perjalanan spiritual menuju kesempurnaan jiwa (moksha). Upacara ini juga mengajarkan nilai ketulusan, cinta kasih, dan penghormatan kepada leluhur sebagai bagian dari ajaran dharma.

Ngaben adalah ritual puncak kehidupan umat Hindu Bali, yang memadukan unsur spiritual, budaya, dan sosial dalam satu kesatuan. Upacara ini mencerminkan pandangan hidup orang Bali yang penuh keseimbangan antara dunia lahir dan batin.

Lebih dari sekadar pembakaran jenazah, Ngaben adalah simbol penyucian, pembebasan, dan keabadian jiwa — sebuah penghormatan terakhir yang luhur kepada perjalanan hidup manusia menuju penyatuan dengan Sang Pencipta.

Copyright © 2025. All rights reserved. Jagat Wisata Bali - Designed by JagatBali.Com
error: Content is protected !!